Gerimis
mulai membasahi halaman rumahku. Aku masih duduk, termangu sambil menatap ke
arah pintu di ruang tamu yang tak kunjung terbuka daritadi. Mungkin sudah 4 jam
lebih aku duduk diatas sofa, menunggu Mama dan Papa pulang.
“Non
Tian,” suara lembut Bi Sani memanggil namaku “Non Tian, makan siang dulu ya,
bibi udah siapin itu makanan buat makan siang Non Tian.”
Aku
tersenyum kepada pengasuhku semenjak aku kecil ini,”Makasih Bi, tapi Tian masih
kenyang. Nanti Tian makan deh.”
“Tapi
beneran loh ya, Non. Bibi gak mau kalo nanti Non Tian sakit.” kata Bi Sani
dengan nada khawatir.
Lalu
aku menganggukan kepala sembari berkata, “Iya bi, beneran kok.”
Bi
Sani lalu beranjak pergi meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Aku menghela
nafas pelan. Aku mulai melihat sekelilingku. Sepi. Ya, memang yang tinggal di
rumah ini hanya aku dan Bi Sani. Aku tidak memiliki kakak maupun adik,
sedangkan Mama dan Papa-ku jarang sekali
berada di rumah. Semenjak usaha dagang mereka sukses, mereka berdua lebih
sering berada di luar negeri daripada di rumah sendiri. Mereka lebih sering
bersama rekan bisnis, daripada dengan anak
sendiri. Semua itu mereka lakukan dengan alasan demi aku. Sungguh, ingin
sekali aku bisa bersama mereka sehari penuh tanpa gangguan dari urusan bisnis
mereka.
Air
mata menetes, dan mulai membasahi baju yang aku kenakan.
Ah, lebih baik aku
makan siang saja dulu, daripada duduk menunggu Mama dan Papa yang tak jelas
kapan pulang.
Ketika
aku berdiri dari sofa, bel rumah berbunyi nyaring. Segera aku berlari ke pintu,
dan membuka pintu.
“Papa!
Mama!” seruku senang ketika melihat mereka berdua berdiri di depan pintu.
Mereka berdua mendekat dan memelukku. “Tian kangen banget sama Mama, sama Papa
juga. Aaaah, Tian seneng banget Papa sama Mama pulang.” Air mataku mulai mengalir, sudah tak bisa aku bendung lagi.
“Mama
juga bahagia bisa ketemu sama anak mama yang cantik ini,” Mama mengecup
keningku, lalu memelukku lagi. Papa hanya diam, namun beliau terlihat mengusap
mata. “Ayok deh masuk dulu, ntar kangen-kangenan-nya kita lanjutin di dalam.”
ucap Mama dengan senyum anggun menghiasi mukanya. Setelah itu kami bertiga
masuk ke dalam rumah.
***
Malam
harinya, ketika makan malam telah usai, aku mengutarakan isi hatiku.
“Pa,
Ma... Boleh gak Tian ngomong sesuatu?”
Papa
menatapku dengan pandangan hangat, dan beliau berkata,”Tentu saja boleh sayang.
Ayo, Tian mau ngomong apa? Papa dengerin deh.”
“Ummm...
Tian pengen Papa sama Mama di rumah aja, nemenin Tian disini. Tiap kesepian
tiap Papa sama Mama pergi-pergi terus untuk urusan bisnis. Tian sedih karena
Tian ngerasa kayak gak punya siapa-siapa. Tian sedih kalo tiap ada rapat orang
tua, pasti cuma orang tua Tian yang gak
datang. Ya, Pa, Ma, Tian mohon. Papa sama Mama tinggal di rumah aja.”
Ekspresi
penuh kasih sayang di muka Papa dan Mama segera tergantikan oleh ekspresi
kaget. Ya, aku tahu, mungkin mereka menganggap apa yang barusan aku katakan
konyol, konyol karena aku meminta mereka untuk tetap berada disini, untuk
meninggalkan segala macam kegiatan bisnis mereka. Padahal bisnis sudah menjadi
bagian hidup mereka.
Mama
tersenyum kaku, begitu juga dengan Papa.
“Tian,”
ucap mama setengah berbisik “Mama sama Papa sebenarnya juga kepengen bisa sama
Tian terus di rumah. Tapi kan Mama sama papa ngelakuin semua ini juga biar kamu
bahagia nantinya. Biar kamu gak susah sayang.”
“Iya
sayang, benar apa kata Mama kamu. Kami sama sekali gak pengen bikin kamu sedih.
Kami ngelakuin ini semua justru karena kami ingin kamu bahagia, nak.”
Air
mata mulai mengalir deras dari kedua mataku. “Tapi Pa, Ma, kalo kalian pengen
aku bahagia, gak kaya gini caranya. Tian akan lebih bahagia kalo Papa sama Mama
bisa disamping aku, nemenin aku.”
“Maafkan
kami, sayang.” ucap mama sambil mengusap air mataku. Air mataku malah mengucur
semakin deras. Sesak sekali rasanya. Ingin sekali aku berteriak untuk
mengeluarkan semua kesedihanku. Tiba-tiba terdengar suara handphone berbunyi.
Terlihat Papa mulai merogoh-rogoh saku di kemejanya.
Ah, pasti itu dari
rekan bisnisnya,
pikirku.
“Halo,
selamat malam... Ah iya Pak Tanto... iya... oh, oke, besok?... yayaya, segera
saya akan mengabari anda... iya.. hahaha, tidak apa-apa pak.. Terimakasih,
selamat malam.” Papa mengahiri percakapan di teleponnya. Segera mama bertanya,
“Ada apa Pa?”
“Ini
Ma, Pak Tanto ngabarin, kalo klien kita yang di Singapore pingin ketemu sama
kita besok.”
Mama
lalu menoleh ke arahku, wajah beliau terlihat cemas. Aku hanya diam. Aku tak
tahu harus bagaimana. Mana mungkin aku menghalangi mereka untuk pergi ke
Singapore esok hari. Toh, kalaupun aku memaksa mereka untuk tetap tinggal di
rumah besok, mereka juga tidak akan mau.
Aku
berdiri dari kursi, dan berkata, “Tian harap, Papa sama Mama tetap tinggal
disini nemenin Tian besok.”
Mama
dan Papa hanya diam. Mereka tetap duduk di kursi mereka. Aku lalu berlari
menuju kamarku, membanting pintu kamar sehingga menimbulkan suara yang membuat
telinga sakit. Aku tahu aku telah bertindak tidak sopan, tapi bagaimana lagi,
aku kesal sekali. Aku segera merebahkan badanku diatas kasur, terisak-isak,
mengusap air mataku dan lalu menutupi wajahku dengan bantal. Mengapa orang
tuaku lebih mementingkan urusan bisnis daripada anaknya sendiri?
***
Esok
paginya aku bangun dengan perasaan sedikit tenang. Kekesalanku akan kejadian
semalam sudah berkurang. Segera aku bangun dari tempat tidurku, keluar dari
kamar, dan berjalan menuju ruang tengah.
Diatas
meja, aku menemukan secarik kertas.
Maaf sayang, Papa sama Mama harus pergi ke Singapore untuk
menyelesaikan urusan bisnis. Papa dan Mama akan segera kembali setelah urusan
kami disini selesai.
Mendadak
aku merasa lemas sekali. Perasaan sedih mulai menyelimutiku.
“Ah,
aku tak boleh terus-terusan bersedih seperti ini. Aku harus tetap menjalani
hidupku. Mungkin ini adalah cara Mama dan Papa menyayangiku. Ahaha. Semangat!”
Aku
mulai mendoktrin diriku sendiri agar aku lebih bersemangat, agar aku tidak
terus-terusan bersedih seperti ini. Segera
aku melangkahkan kakiku kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap berangkat
sekolah.
***
Jalanan
menuju sekolah pagi ini terlihat lengang sekali, aku hanya menemui beberapa
motor saja yang terlihat melintas, mungkin ini gara-gara sekarang sudah hampir
jam 7. Jarak menuju sekolahku tinggal sedikit lagi. Lalu aku memacu motor yang
aku kendarai dengan kecepatan mencapai 80km/jam. Ketika di perempatan dekat
sekolah tiba-tiba....
Cccciiiiitttt....
duaaaaarr...
Aku
tak dapat mengerem motorku sampai bisa berhenti. Motorku menabrak sedan putih
yang juga sedang melaju kencang dari belokan sebelah kanan. Aku merasa pusing
sekali, pandanganku menjadi kabur. Sayup-sayup aku mendengar orang-orang
berteriak dan mulai mendatangiku. Lalu semuanya menjadi gelap.
***
Aku
melihat Bi Sani menangis sambil terisak pelan di sebelahku, lalu tak berapa
lama kemudian dari kejauhan terlihat Mama dan Papa berlarian menuju diriku.
Mama terlihat seperti orang linglung, lalu beliau mulai berteriak-teriak
memanggil namaku saat dia telah berada di dekatku. Hei, bukan kah aku disini? Ada
apa ini? Kenapa semua orang di dalam ruangan berwarna putih ini terlihat sedih?
Aku
memanggil orang-orang yang aku kenal, Mama, Papa, Bi Sani. Tapi terlihat tak
satupun dari mereka menoleh kearahku. Aku mulai berpikir disni ada sesuatu yang
aneh. Tapi apa hal aneh itu?
Seorang
pria, dengan pakaian dokter masuk kedalam ruangan itu. Dia menyalami kedua
orang tua ku, lalu ia berbicara pada kedua orang tuaku, dia mengucapkan sesuatu
hal yang akhirnya menyadarkanku apa hal yang aneh itu.
Roh
dan jasadku telah terpisah. Aku telah meninggal. Aku berdiri, dan aku dapat
melihat jasadku tergeletak diatas ranjang. Mama mendekat, dan beliau mulai
mengusap rambutku. Lalu beliau mencium keningku sama seperti yang beliau
lakukan saat kemarin siang. Beliau berbisik pelan tepat disamping telingaku. Beliau
berbisik, “Tian maafin Mama, maafin mama karena Mama gak bisa jagain kamu. Maafin
Mama, Tian, maaf... Mama sayang Tian. Nak bangun nak bangun...”
Papa
lalu membimbing Mama untuk berdiri. Muka Papa juga terlihat sedih, namun ia
berusaha untuk terlihat tegar. Ia memeluk mama, dan mulai membisikan kata-kata
untuk menenangkan Mama. Bi Sani yang sedari tadi diam saja, akhirnya bersuara.
“Nyonya,
ini saya tadi nemuin ini di kamar non Tian.” ucap Bi Sani sambil menyerahkan
kertas berwarna biru muda.
Hei,
bukankah itu adalah kertas yang berisi curahan hatiku?
Mama
mulai membacanya.
“Tian
sebenarnya gak tahu harus nulis apa. Umm, mungkin Tian akan menulis apa yang
Tian rasain. Tian juga gak berharap banget ada orang yang baca tulisan Tian
terus ngasih tahu Mama sama Papa.
Kalo
Tian boleh milih, Tian pengen banget bisa bersama Mama dan Papa terus.Kalo
boleh milih, Tian pingin balik ke masa-masa dimana Papa sama Mama masih jualan
di toko depan rumah aja, daripada’jualan’ sampai keluar negeri. Kalo Papa sama
Mama jualan di depan rumah kan Tian bisa lama-lama sama mereka. Hehe, mungkin
Tian kayak anak kecil kalo gini. Tapi, sungguh, Tian cuma pengen Papa Mama
nemenin Tian disini. Tian sebenernya gak pengen gadget-gadget terbaru yang Papa
kasih kenaikan kelas kemarin. Tian juga
sebenarnya gak pengen mobil yang Papa Mama kasih waktu ulang tahun Tian kemarin. Sekali lagi, Tian cuma pengen
Papa sama Mama tinggal di rumah sama Tian. Ngehabisin waktu bareng Tian....”
Aku
tahu, sebenarnya Mama belum selesai membaca semua tulisanku di kertas itu.
Namun Mama sudah berhenti tanpa menyelesaikannya.
Mama
mencoba tersenyum. Beliau mendekati jasadku lagi. Lalu ia berbisik,”Tian,
maafin Mama. Mama ikhlas.. Mama ikhlas... semoga anak baik seperti kamu dapat
bahagia di surga sana.” Mama mengecup keningku sekali lagi, begitu juga dengan
Papa, dan Mama menyeka air matanya yang
mengalir semakin deras.
Aku
tersenyum, tapi aku juga menangis. Menangis terharu. Ingin sekali aku memeluk
mereka dan mengatakan aku sangat sayang mereka. Namun itu tidak mungkin.
Tiba-tiba
dua malaikat datang menghampiriku, mereka tersenyum padaku, mereka mengatakan
bahwa aku harus pergi sekarang. Lalu mereka menggenggam tanganku erat-erat dan
membawaku terbang meninggalkan dunia ini.
Kereeeennn haha :D bakat ternyata :P
ReplyDeleteEh iya nad cerpenku udah upload,silakan dibaca,dinilai,dikomentari terserah haha :D